NGANJUK - Di kawasan hutan kabupaten nganjuk, tepatnya di BKPH tritik, RPH kedungrejo, KPH nganjuk, terdapat satu rumah kayu yang terletak jauh dari perkampungan warga. Rumah di tengah hutan ini, telah dihuni puluhan tahun oleh dua nenek berusia lanjut tersebut.
Untuk menuju rumah yang dihuni oleh nenek sukinah alias mbah sablah, 64 tahun dan nenek suminem 54 tahun ini harus menempuh jarak 7 kilometer dari desa ngadiboyo, kabupaten nganjuk.
Suminem terlihat masih kuat secara fisik, sementara sukinah memiliki cacat fisik kedua matanya buta, sehingga tak bisa bekerja. Tiap harinya, suminem harus melayani sukinah baik makan dan minum.
Menurut suminem, gubuk kayu miliknya, yang berada di dusun magersari desa kedungrejo kecamatan saradan kabupaten madiun ini, merupakan rumah peninggalan nenek moyangnya. Ayahnya bernama ngadiso merupakan pejuang 1945, dan gugur di medan perang. Sementara ibunya bernama sukemi, merupakan pekerja sosial sebagai guru slb di desanya pada masa itu.
Pada tahun 1950 pasca kemerdekaan, di hutan tersebut ada sebanyak 140 kepala keluarga, dan anak anaknya di ajari pendidikan sekolah oleh sukemi. Hingga akhirnya sukemi meninggal dan tidak memberikan warisan apapun kecuali rumah kayu yang ada di tengah hutan tersebut.
Program bedol desa yang dicanangkan pemerintah orde baru pada tahun 1982 an, membuat seluruh kepala keluarga meninggalkan kampung setempat. Sementara suminem memilih bertahan.
Untuk menuju rumah yang dihuni oleh nenek sukinah alias mbah sablah, 64 tahun dan nenek suminem 54 tahun ini harus menempuh jarak 7 kilometer dari desa ngadiboyo, kabupaten nganjuk.
Suminem terlihat masih kuat secara fisik, sementara sukinah memiliki cacat fisik kedua matanya buta, sehingga tak bisa bekerja. Tiap harinya, suminem harus melayani sukinah baik makan dan minum.
Menurut suminem, gubuk kayu miliknya, yang berada di dusun magersari desa kedungrejo kecamatan saradan kabupaten madiun ini, merupakan rumah peninggalan nenek moyangnya. Ayahnya bernama ngadiso merupakan pejuang 1945, dan gugur di medan perang. Sementara ibunya bernama sukemi, merupakan pekerja sosial sebagai guru slb di desanya pada masa itu.
Pada tahun 1950 pasca kemerdekaan, di hutan tersebut ada sebanyak 140 kepala keluarga, dan anak anaknya di ajari pendidikan sekolah oleh sukemi. Hingga akhirnya sukemi meninggal dan tidak memberikan warisan apapun kecuali rumah kayu yang ada di tengah hutan tersebut.
Program bedol desa yang dicanangkan pemerintah orde baru pada tahun 1982 an, membuat seluruh kepala keluarga meninggalkan kampung setempat. Sementara suminem memilih bertahan.
Suminem akhinya kenal dengan mbah sukinah, warga asal dusun sidokerso desa banaran kecamatan bagor kabupaten nganjuk, dan memilih hidup bersama di hutan.
Untuk kebutuhan makan sehari-hari, kedua janda tua ini mengandalkan hasil alam dengan bercocok tanam serta beternak. Sementara penerangan rumah mereka menggunakan listrik dari tenaga surya bantuan dari pemkab nganjuk.
Namun dengan daya listrik sangat terbatas, dan hanya untuk satu lampu saja. Jika terjadi padam, ia terpaksa menggunakan lampu oblik, atau lampu minyak tanah.
Sementara itu, menurut mokhammad hamim, asisten perhutani BKPH tritik kabupaten nganjuk, keduanya menempati hutan setempat dengan status tanah hijau atau pola magersaren, yaitu bisa menempati tanah hutan tapi tak bisa memiliki. Pihaknya bahkan berterima kasih kepada kedua nenek ini, karena turut menjaga hutan kelestarian hutan setempat.
kedua nenek ini, berniat terus bertahan hidup di dalam hutan, hingga akhirnya hayatnya. Tinggal di hutan membuat keduanya bisa hidup tenang, damai, dan jauh dari kebisingan serta hiruk pikuk perkotaan.