NGANJUK - Sesuai arsip tropen museum jaman kolonial Belanda, Desa Banaran, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, pada tahun 1940an tercatat sebagai desa penghasil kain tenun yang disebut dengan kain kenthel.
Guna memastikan sejarah itu, sejumlah pecinta sejarah kota sejuk, melakukan penelusuran dan menemukan sekitar 9 orang yang masih hidup dan pernah membuat kain kuno tersebut.
Salah satunya adalah Jamiyem, 70 tahun. Anak dari Jainem yang sudah berumur 110 tahun tersebut merupakan mantan pengrajin kain kenthel di Desa Banaran Kulon, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk.
Janiyem mengaku, bahan baku kain atau kapas ditanam sendiri oleh pengrajin di kebunnya. Selanjutnya di proses menjadi lawe atau benang dan ditenun menjadi kain. Cara pemasaran kala itu, pedagang datang ke rumah mengambil hasil tenunan.
Harga yang dipatok hanya 5 rupiah per lembar dengan panjang 2.5 meter kali 1 meter. “Waktu itu saya hanya membantu orang tua menenun kain kenthel sebagai pekerjaan sampingan,” terangnya kepada JTV, Rabu (08/03/2023).
Janiyem menambahkan, bukti sejarah yang masih ada di rumahnya yaitu sisa lawe. Kemudian hasil kerajinan orang tuanya, jarum dari bambu, kain warna lorek dan juga stagen atau kain panjang pengikat pinggang.
Sementara Amin Fuadi, Budayawan Kota Sejuk yang juga sebagai pejabat di Dinas Kebudayaan Nganjuk membenarkan bahwa pada jaman kolonial Belanda, di Dusun Padangan, Desa Banaran Kulon, Kecamatan Bagor, ada 9 pengrajin kain tenun.
Usaha tersebut sebagai insdustri kerajinan rumahan atau sebagai sampingan. Kala itu, desa banaran sebagai pusat pengerajin kain lurik. Namun, sekitar tahun 1963an, kerajinan kain khas nganjuk tersebut perlahan redup dan akhirnya punah, akibat kalah bersaing dengan kain-kain dari luar negeri.
“Hasil dari kerajinan tersebut perlahan punah karena kalah bersaing dengan kain-kain dari luar negeri,” ungkapnya.
Pihaknya juga meminta, kain kenthel tersebut di arsipkan di museum Nganjuk Ladang dan akan mengusulkan kepada Pemerintah Daerah untuk membangkitkan kembali tenunan di Nganjuk. (as/rok)
Guna memastikan sejarah itu, sejumlah pecinta sejarah kota sejuk, melakukan penelusuran dan menemukan sekitar 9 orang yang masih hidup dan pernah membuat kain kuno tersebut.
Salah satunya adalah Jamiyem, 70 tahun. Anak dari Jainem yang sudah berumur 110 tahun tersebut merupakan mantan pengrajin kain kenthel di Desa Banaran Kulon, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk.
Janiyem mengaku, bahan baku kain atau kapas ditanam sendiri oleh pengrajin di kebunnya. Selanjutnya di proses menjadi lawe atau benang dan ditenun menjadi kain. Cara pemasaran kala itu, pedagang datang ke rumah mengambil hasil tenunan.
Harga yang dipatok hanya 5 rupiah per lembar dengan panjang 2.5 meter kali 1 meter. “Waktu itu saya hanya membantu orang tua menenun kain kenthel sebagai pekerjaan sampingan,” terangnya kepada JTV, Rabu (08/03/2023).
Janiyem menambahkan, bukti sejarah yang masih ada di rumahnya yaitu sisa lawe. Kemudian hasil kerajinan orang tuanya, jarum dari bambu, kain warna lorek dan juga stagen atau kain panjang pengikat pinggang.
Sementara Amin Fuadi, Budayawan Kota Sejuk yang juga sebagai pejabat di Dinas Kebudayaan Nganjuk membenarkan bahwa pada jaman kolonial Belanda, di Dusun Padangan, Desa Banaran Kulon, Kecamatan Bagor, ada 9 pengrajin kain tenun.
Usaha tersebut sebagai insdustri kerajinan rumahan atau sebagai sampingan. Kala itu, desa banaran sebagai pusat pengerajin kain lurik. Namun, sekitar tahun 1963an, kerajinan kain khas nganjuk tersebut perlahan redup dan akhirnya punah, akibat kalah bersaing dengan kain-kain dari luar negeri.
“Hasil dari kerajinan tersebut perlahan punah karena kalah bersaing dengan kain-kain dari luar negeri,” ungkapnya.
Pihaknya juga meminta, kain kenthel tersebut di arsipkan di museum Nganjuk Ladang dan akan mengusulkan kepada Pemerintah Daerah untuk membangkitkan kembali tenunan di Nganjuk. (as/rok)