BOJONEGORO - Makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim berada di Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Makamnya memiliki ciri khas tersendiri, yakni di depan makam terdapat sebuah gerbang seperti pada masa kerajaan, menunjukkan akan kentalnya sejarah perjalanan ke 2 tokoh tersebut.
Jika masuk ke dalam, maka akan nampak terdapat 2 makam yang bersejajar. Makam keduanya tersebut, yakni Mbah Sabil dan Mbah Hasyim. Kedua makam yang ditutup dengan kain berwarna hijau, menunjukkan betapa sakralnya keberadaan makam kedua tokoh penyebar agama islam di wilayah Padangan.
Mbah Sabil merupakan keturunan pajang, yang hidup di era periode pertama Kesultanan Mataram Islam atau transisi dari Pajang ke Mataram.
Mbah Sabil atau Syekh Sabilillah atau Mbah Menak, memiliki nama lain Pangeran Adiningrat Kusumo yang diperkirakan hidup pada tahun 1578 sampai 1650. Mbah Sabil tercatat datang ke Kuncen Padangan pada awal dekade abad ke 17 atau sekitar tahun 1.600. Mbah Sabil merupakan Putra Pajang, anak benowo 2 atau anak Joko Tingkir pendiri Pajang.
Mbah Sabil mempunyai 4 anak, yang pertama bernama Kiyai Saban, anak kedua dinikahi oleh Mbah Lambu Lasem Rembang, kemudian anak ketiga bernama Moyokerti yang dinikah oleh Syekh Abdul Jabbar Njojokan Nglirip Tuban, sedangan anak ke empat Mbah Sabil bernama Abdurrohim.
Furqon Azmi, selaku Dzurriyah Mbah Sabil menjelaskan. Kedatangan Mbah Sabil ke Kuncen Padangan, dari perjalanan beliau dari pajang menuju almamaternya Pondok Ampel Denta, sebuah lembaga yang didirikan oleh Sunan Ampel, untuk menghindari kejaran belanda.
“Di tengah perjalanan, beliau dihentikan oleh Mbah Hasyim dan mengajaknya berdakwah menyebarkan agama islam di tempat yang kelak dikenal dengan Kuncen Padangan,” terangnya saat ditemui JTV, Senin (03/04/2023).
Sayangnya, hingga kini tak banyak riwayat mengenai sosok Mbah Hasyim dalam manuskrip Padangan. Tertulis Mbah Hasyim adalah kiyai dan katib yang sudah terlebih dahulu berada di Kuncen Padangan, sebelum mbah sabil datang, menyebarkan islam dengan mendirikan musholla.
Furqon Azmi menambahkan, kedatangan Mbah Sabil secara otomatis membuat gerakan perbesaran islam di Kuncen Padangan kian berkembang dan besar. Mbah Sabil menyebarkan islam dengan cara membangun peradaban, baik secara konsolidasi keilmuan dengan membangun pesantren, maupun konsolidasi genealogis atau membangun keluarga.
“Hal ini terbukti dengan menjadikanya Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Nglirip sebagai menantunya,” ungkapnya.
Jika masuk ke dalam, maka akan nampak terdapat 2 makam yang bersejajar. Makam keduanya tersebut, yakni Mbah Sabil dan Mbah Hasyim. Kedua makam yang ditutup dengan kain berwarna hijau, menunjukkan betapa sakralnya keberadaan makam kedua tokoh penyebar agama islam di wilayah Padangan.
Mbah Sabil merupakan keturunan pajang, yang hidup di era periode pertama Kesultanan Mataram Islam atau transisi dari Pajang ke Mataram.
Mbah Sabil atau Syekh Sabilillah atau Mbah Menak, memiliki nama lain Pangeran Adiningrat Kusumo yang diperkirakan hidup pada tahun 1578 sampai 1650. Mbah Sabil tercatat datang ke Kuncen Padangan pada awal dekade abad ke 17 atau sekitar tahun 1.600. Mbah Sabil merupakan Putra Pajang, anak benowo 2 atau anak Joko Tingkir pendiri Pajang.
Mbah Sabil mempunyai 4 anak, yang pertama bernama Kiyai Saban, anak kedua dinikahi oleh Mbah Lambu Lasem Rembang, kemudian anak ketiga bernama Moyokerti yang dinikah oleh Syekh Abdul Jabbar Njojokan Nglirip Tuban, sedangan anak ke empat Mbah Sabil bernama Abdurrohim.
Furqon Azmi, selaku Dzurriyah Mbah Sabil menjelaskan. Kedatangan Mbah Sabil ke Kuncen Padangan, dari perjalanan beliau dari pajang menuju almamaternya Pondok Ampel Denta, sebuah lembaga yang didirikan oleh Sunan Ampel, untuk menghindari kejaran belanda.
“Di tengah perjalanan, beliau dihentikan oleh Mbah Hasyim dan mengajaknya berdakwah menyebarkan agama islam di tempat yang kelak dikenal dengan Kuncen Padangan,” terangnya saat ditemui JTV, Senin (03/04/2023).
Sayangnya, hingga kini tak banyak riwayat mengenai sosok Mbah Hasyim dalam manuskrip Padangan. Tertulis Mbah Hasyim adalah kiyai dan katib yang sudah terlebih dahulu berada di Kuncen Padangan, sebelum mbah sabil datang, menyebarkan islam dengan mendirikan musholla.
Furqon Azmi menambahkan, kedatangan Mbah Sabil secara otomatis membuat gerakan perbesaran islam di Kuncen Padangan kian berkembang dan besar. Mbah Sabil menyebarkan islam dengan cara membangun peradaban, baik secara konsolidasi keilmuan dengan membangun pesantren, maupun konsolidasi genealogis atau membangun keluarga.
“Hal ini terbukti dengan menjadikanya Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Nglirip sebagai menantunya,” ungkapnya.
Di Desa Kuncen Mbah Sabil mendirikan sebuah pondok pesantren, lokasi pondok berada di tepi bantaran Bengawan Solo yang kini sudah tidak ada lantaran tergerus sungai. Posisi geografis yang agak naik ke atas atau menek, dan tampat magrung magrung atau besar, kemudian dikenal dengan sebutan nama menak anggrung.
Di menak anggrung, Mbah Sabil mengajar dan mbah hasyim mengelola pondok, dan juga ikut membantu mbah sabil mengajar santri. Dari menak anggrung lahir santri santri kinasih, seperti Mbah Kamaludin, Mbah Abdurrohman Awal, Mbah Jaenuddin, hingga Mbah Moyomuddin.
“Makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim atau Makam Menak Anggrung, sempat dipindah sebanyak 3 kali, untuk menghindari longsoran bantaran sungai. Pemindahan makam pertama dan kedua masih terancam longsor sungai, kemudian pemuka agama dan mursyid kala itu KH Abdurrohman Rowobaya dan KH Mutaha Mbaru, memindahkan makam untuk ketiga kalinya di jantung kita Kuncen Padangan, pada 3 maret 1950, atau dikenal dengan nama alun alun contong, pusat kota Kuncen Padangan,” paparnya.
Hingga saat ini, banyak peziarah silih berganti mendatangi makam Mbah Minak Anggrung. Mulai dari lokal Bojonegoro, sampai luar Bojonegoro seperti Tuban, Kalimantan, Jakarta, bahkan hingga Malaysia. Banyak juga para dzurriyah mbah sabil, sering datang ke makam menak anggrung. (edo/rok)
Di menak anggrung, Mbah Sabil mengajar dan mbah hasyim mengelola pondok, dan juga ikut membantu mbah sabil mengajar santri. Dari menak anggrung lahir santri santri kinasih, seperti Mbah Kamaludin, Mbah Abdurrohman Awal, Mbah Jaenuddin, hingga Mbah Moyomuddin.
“Makam Mbah Sabil dan Mbah Hasyim atau Makam Menak Anggrung, sempat dipindah sebanyak 3 kali, untuk menghindari longsoran bantaran sungai. Pemindahan makam pertama dan kedua masih terancam longsor sungai, kemudian pemuka agama dan mursyid kala itu KH Abdurrohman Rowobaya dan KH Mutaha Mbaru, memindahkan makam untuk ketiga kalinya di jantung kita Kuncen Padangan, pada 3 maret 1950, atau dikenal dengan nama alun alun contong, pusat kota Kuncen Padangan,” paparnya.
Hingga saat ini, banyak peziarah silih berganti mendatangi makam Mbah Minak Anggrung. Mulai dari lokal Bojonegoro, sampai luar Bojonegoro seperti Tuban, Kalimantan, Jakarta, bahkan hingga Malaysia. Banyak juga para dzurriyah mbah sabil, sering datang ke makam menak anggrung. (edo/rok)