TUBAN - Keterbatasan fisik tak menghalangi semangat Warsito, 50 tahun untuk menjalani hidupnya. Sehari-hari tuna daksa asal Desa Kasiman, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, tersebut memanjat hingga 5 pohon siwalan untuk menyadap nira demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski hanya dengan satu kaki, bapak satu anak ini setiap hari bisa memanjat pohon siwalan setinggi belasan meter untuk mengambil air legen yang dihasilkan pohon siwalan. Begitu sampai di atas pohon, Warsito langsung mengambil wadah yang digunakan untuk menampung tetesan getah pohon siwalan.
Tanpa proses tambahan, cairan getah yang terkumpul langsung bisa dikonsumsi. Sepintas legen memang berwarna agak keruh. Namun warna keruh dan berbusa seperti ini adalah kualitas asli tanpa campuran air maupun pemanis buatan.
Warsito mengaku sudah melakoni pekerjaan sebagai pemanjat pohon siwalan sejak 20 tahun silam. Dalam cuaca normal, ia mengaku tidak kesulitan memanjat pohon siwalan dengan tinggi antara 15 hingga 30 meter.
“Kesulitannya itu kalau ada hewan yang ganggu mas. Selain itu juga pas hujan, soalnya batang pohonnya jadi licin,” jelasnya kepada JTV, Sabtu (18/11/2023).
Meski demikian, tekat yang kuat untuk menghidupi istri dan satu anaknya, membuat Warsito konsisten menggeluti profesi ini. Hanya saja, saat musim tertentu ia beralih profesi sebagai buruh tani.
“Kadang juga cari penghasil dari petani mas, kalau pas sedang patiwolo. Kalau nggak gitu kan uangnya kurang untuk kebutuhan sehari-hari,” imbuhnya.
Dalam sehari, warsito mampu mendapatkan legen sebanyak 15 botol dari 5 pohon siwalan yang dipanjatnya. Sementara satu botol legen dijual dengan harga Rp12.500 per botol.
“Itupun nggak semua bisa laku mas. Kalau masih ada sisa ya saya titipkan di warung,” tegas Warsito.
Bagi masyarakat setempat, legen hasil sadapan Warsito terkenal manis dan segar. Bahkan, warga rela menunggu di bawah pohon untuk membeli legen tersebut.
“Ini beli untuk minum di rumah. Rasanya manis dan segar, karena memang legen asli dan baru turun dari pohon,” ujar Warti, pembeli legen asal Desa Mliwang. (dzi/rok)
Meski hanya dengan satu kaki, bapak satu anak ini setiap hari bisa memanjat pohon siwalan setinggi belasan meter untuk mengambil air legen yang dihasilkan pohon siwalan. Begitu sampai di atas pohon, Warsito langsung mengambil wadah yang digunakan untuk menampung tetesan getah pohon siwalan.
Tanpa proses tambahan, cairan getah yang terkumpul langsung bisa dikonsumsi. Sepintas legen memang berwarna agak keruh. Namun warna keruh dan berbusa seperti ini adalah kualitas asli tanpa campuran air maupun pemanis buatan.
Warsito mengaku sudah melakoni pekerjaan sebagai pemanjat pohon siwalan sejak 20 tahun silam. Dalam cuaca normal, ia mengaku tidak kesulitan memanjat pohon siwalan dengan tinggi antara 15 hingga 30 meter.
“Kesulitannya itu kalau ada hewan yang ganggu mas. Selain itu juga pas hujan, soalnya batang pohonnya jadi licin,” jelasnya kepada JTV, Sabtu (18/11/2023).
Meski demikian, tekat yang kuat untuk menghidupi istri dan satu anaknya, membuat Warsito konsisten menggeluti profesi ini. Hanya saja, saat musim tertentu ia beralih profesi sebagai buruh tani.
“Kadang juga cari penghasil dari petani mas, kalau pas sedang patiwolo. Kalau nggak gitu kan uangnya kurang untuk kebutuhan sehari-hari,” imbuhnya.
Dalam sehari, warsito mampu mendapatkan legen sebanyak 15 botol dari 5 pohon siwalan yang dipanjatnya. Sementara satu botol legen dijual dengan harga Rp12.500 per botol.
“Itupun nggak semua bisa laku mas. Kalau masih ada sisa ya saya titipkan di warung,” tegas Warsito.
Bagi masyarakat setempat, legen hasil sadapan Warsito terkenal manis dan segar. Bahkan, warga rela menunggu di bawah pohon untuk membeli legen tersebut.
“Ini beli untuk minum di rumah. Rasanya manis dan segar, karena memang legen asli dan baru turun dari pohon,” ujar Warti, pembeli legen asal Desa Mliwang. (dzi/rok)
Ikuti berita terkini JTV Bojonegoro di Google News