TUBAN - Perayaan Hari Raya Idul Adha, menjadi berkah tersendiri bagi para perajin tusuk sate di Kabupaten Tuban. Salah satunya seperti yang dirasakan warga kampung tusuk sate di Kelurahan Perbon, Kecamatan Tuban Kota, Kabupaten Tuban, pada Kamis (30/05/2024) pagi.
Salah satu perajin tusuk sate setempat, Sumarni mengatakan, sejak sepekan terakhir permintaan tusuk sate terus berdatangan. Biasanya, tusuk sate ini akan diambil oleh pengepul lalu dijual kembali di sejumlah Pasar Tradisional Kabupaten Tuban.
“Biasanya pengepul datang langsung kesini, kemudian mereka menjualnya lagi ke pasar tradisional di Kecamatan Merakurak, Jenu, dan Pasar Baru Tuban. Selain itu, juga dijual eceran di sejumlah toko,” ungkapnya kepada JTV.
Sumarni menambahkan, meski banyak pesanan, namun dalam sehari tiap orang hanya mampu memproduksi 20 ikat tusuk sate dengan isi 90 biji dalam satu ikatnya.
“Pesanan banyak mas. Tapi kan perajin disini nggak bisa nambah produksinya. Maksimal sehari per orang hanya bisa produksi 20 ikat. Satu ikatnya itu isinya 90 biji tusuk sate,” imbuhnya.
Cara tersebut tidak secepat mesin, karena prosesnya lebih lama dan butuh ketelatenan. Untuk menghasilkan tusuk sate, bambu harus dipotong kecil menggunakan gergaji. Setelah itu, dipotong lagi menjadi beberapa bagian menggunakan parang atau bendo.
Proses selanjutnya yaitu bambu dihaluskan dan diruncingkan menjadi tusuk sate. Setiap satu ikat tusuk sate berisi sekitar 90 biji, hanya dijual dengan harga Rp1.200 hingga Rp2.000 saja.
“Kalau harga itu mengikuti harga bambu mas. Sekarang ini kan harga bambu mahal, jadi per ikatnya itu kami jual ke pengepul antara Rp1.2000 sampai Rp2.000 per ikat,” timpal Raminah, perajin tusuk sate lain.
Sekedar diketahui, di kampung tusuk sate Dukuhan Perbon Tuban ini, terdapat sedikitnya 30 kepala keluarga yang memproduksi tusuk sate berbahan bambu. Profesi ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga yang mengisi waktu disela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. (dzi/rok)
Salah satu perajin tusuk sate setempat, Sumarni mengatakan, sejak sepekan terakhir permintaan tusuk sate terus berdatangan. Biasanya, tusuk sate ini akan diambil oleh pengepul lalu dijual kembali di sejumlah Pasar Tradisional Kabupaten Tuban.
“Biasanya pengepul datang langsung kesini, kemudian mereka menjualnya lagi ke pasar tradisional di Kecamatan Merakurak, Jenu, dan Pasar Baru Tuban. Selain itu, juga dijual eceran di sejumlah toko,” ungkapnya kepada JTV.
Sumarni menambahkan, meski banyak pesanan, namun dalam sehari tiap orang hanya mampu memproduksi 20 ikat tusuk sate dengan isi 90 biji dalam satu ikatnya.
“Pesanan banyak mas. Tapi kan perajin disini nggak bisa nambah produksinya. Maksimal sehari per orang hanya bisa produksi 20 ikat. Satu ikatnya itu isinya 90 biji tusuk sate,” imbuhnya.
Cara tersebut tidak secepat mesin, karena prosesnya lebih lama dan butuh ketelatenan. Untuk menghasilkan tusuk sate, bambu harus dipotong kecil menggunakan gergaji. Setelah itu, dipotong lagi menjadi beberapa bagian menggunakan parang atau bendo.
Proses selanjutnya yaitu bambu dihaluskan dan diruncingkan menjadi tusuk sate. Setiap satu ikat tusuk sate berisi sekitar 90 biji, hanya dijual dengan harga Rp1.200 hingga Rp2.000 saja.
“Kalau harga itu mengikuti harga bambu mas. Sekarang ini kan harga bambu mahal, jadi per ikatnya itu kami jual ke pengepul antara Rp1.2000 sampai Rp2.000 per ikat,” timpal Raminah, perajin tusuk sate lain.
Sekedar diketahui, di kampung tusuk sate Dukuhan Perbon Tuban ini, terdapat sedikitnya 30 kepala keluarga yang memproduksi tusuk sate berbahan bambu. Profesi ini biasanya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga yang mengisi waktu disela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. (dzi/rok)