![]() |
Suasana sholat jamaah di Masjid Agung Bojonegoro. Foto: Imam Mabrurin. |
Oleh: Ahmad Imam Mabrurin
Malam itu, Bojonegoro berselimut teduh. Langit membentang seperti samudra gelap bertabur bintang, sementara rembulan menggantung malu-malu di ujung cakrawala. Udara dingin menyelinap lembut, namun hati ini membara oleh harapan suci. Dengan langkah penuh harap, saya bersama ratusan jamaah lainnya berduyun-duyun menuju Masjid Agung Darussalam, membawa sejuta asa dalam doa, mengharap berkah Lailatul Qadar yang agung.
Masjid itu, pada malam ke-25 Ramadhan, menjelma bagai samudra cahaya. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an membubung tinggi, menggetarkan langit-langit dan menembus dinding-dinding jiwa. Hati bergetar, mata basah dalam hening sujud yang panjang. Seakan-akan, di setiap helaan napas, saya dapat merasakan hadirnya rahmat Allah yang begitu dekat, begitu nyata. Dalam keramaian itu, ada kesunyian yang indah. Sebuah keheningan batin yang berbicara tanpa kata, menangis tanpa air mata.
Dalam setiap rakaat, dalam setiap ruku' dan sujud, ada dialog yang begitu intim antara hamba dan Penciptanya. Di tengah keheningan malam, saya merasa tenggelam dalam lautan harap dan rindu. Rindu akan maghfirah-Nya, akan cinta-Nya yang tiada bertepi. Malam itu bukan sekadar malam; ia adalah panggung di mana jiwa-jiwa yang lelah menaruh segala resah dalam genggaman Ilahi. Inilah malam ketika dosa-dosa yang berat menjadi ringan, ketika harapan yang pudar kembali menyala.
Malam 25 Ramadhan ini menjadi istimewa. Konon, di salah satu malam ganjil inilah, Lailatul Qadar menebarkan berkahnya. Malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Adakah nikmat yang lebih indah selain diampuni dalam malam yang suci ini? Dalam hati saya berbisik, "Ya Allah, jika ini adalah malam yang Kau muliakan, jangan biarkan aku pulang dengan tangan hampa. Izinkan aku membawa setitik cahaya dari rahmat-Mu."
Langkah kaki kami mungkin berat, tetapi harapan kami melesat jauh ke langit. Di antara doa-doa yang membumbung tinggi, saya sadar betapa kecilnya diri ini di hadapan kebesaran-Nya. Allah tidak meminta kesempurnaan; Dia hanya menghendaki ketulusan. Di setiap detik yang berlalu, saya ingin menjadi hamba yang lebih baik, yang lebih tahu diri, yang lebih dekat kepada-Nya.
Beribadah di Masjid Agung Darussalam tidak hanya tentang menunaikan shalat tahajud berjamaah. Ini adalah perjalanan spiritual, saat jiwa menelusuri lorong-lorong kesadaran. Saya merenungi betapa kecilnya diri ini di hadapan kebesaran-Nya. Di tengah-tengah lautan manusia yang bersujud serempak, saya menyadari bahwa tak ada yang lebih indah daripada tunduk dalam ketulusan. Di masjid inilah, di bawah atap yang sama, kami bersatu dalam doa, dalam harap, dalam cinta kepada Sang Pencipta.
Ramadhan adalah bulan harapan. Ia datang dengan lembut, memberi kesempatan bagi yang berdosa untuk bertaubat, bagi yang lemah untuk menjadi kuat, dan bagi yang tersesat untuk menemukan jalan pulang. Malam 25 ini, dengan segala keheningan dan kekhusyukannya, mengajarkan saya bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar dunia. Ia tentang bagaimana kita kembali kepada-Nya dengan hati yang bersih.
Malam itu, saya melihat betapa Ramadhan adalah anugerah tak terperi. Ia bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menyucikan jiwa, mengikis kesombongan, dan menabur kebaikan di setiap langkah. Di setiap doa yang saya panjatkan, saya titipkan harapan agar Ramadhan kali ini tidak berlalu sia-sia. Bahwa setelah fajar menyingsing, akan lahir jiwa-jiwa yang lebih bersih, lebih damai, dan lebih dekat dengan-Nya.
Masjid Agung Darussalam menjadi saksi, bahwa di malam penuh harap ini, kami datang bukan hanya membawa doa, tetapi juga kerinduan. Rindu akan pertemuan dengan cinta-Nya, rindu akan ketenangan yang hanya ditemukan dalam sujud yang khusyuk. Malam 25 Ramadhan ini akan selalu tertoreh dalam ingatan, sebagai malam di mana langit dan bumi seakan berbisik dalam harmoni.
Semoga kita semua menjadi bagian dari jiwa-jiwa yang terpilih, yang diampuni dan dicintai. Semoga setiap langkah kita menuju-Nya tak pernah sia-sia, dan kelak, di akhir perjalanan, kita pulang dengan hati yang tenang dalam pelukan rahmat-Nya.
Dan jika malam ini benar-benar Lailatul Qadar, izinkanlah doa-doa yang kami bisikkan dalam diam menjelma menjadi keberkahan yang abadi. Izinkan setiap tetes air mata menjadi saksi betapa kami rindu akan ampunan-Mu. Karena pada akhirnya, hidup hanyalah perjalanan singkat menuju keabadian dalam cinta-Mu.