Iklan Beranda

Redaksi JTV
Sabtu, 19 April 2025, 11:07 WIB
Last Updated 2025-04-19T04:07:23Z
Gaspol LekHukum | PeristiwaOpiniViewerViral

Meterai dalam Perjanjian : Hanya Formalitas atau Syarat Substansial?

 
Oleh : 
Fitrothul Mubarokah 
Mahasiswa Magister Kenotariatan 
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

JTVBojonegoro.com - Penggunaan Meterai dalam dokumen-dokumen tertentu banyak dijumpai dalam masyarakat, tertutama dalam transaksi yang dilakukan melalui pembuatan surat perjanjian. Penggunaan meterai dalam perjanjian, bukanlah merupakan syarat sah perjanjian. 

Pasalnya, syarat sah perjanjian adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu pokok persoalan tertentu, 4. Suatu sebab yang tidak terlarang. 

Jadi, apabila keempat syarat tersebut sudah terpenuhi maka perjanjian dianggap sah. Namun, tidak menutup kemungkinan apabila ke empat syarat tersebut sudah terpenuhi tidak akan menimbulkan permasalahan hukum. 

Masyarakat sering kali menganggap bahwa suatu perjanjian yang hanya di bubuhi tandatangan dan tanpa ditempel meterai maka masih mempertanyakan keabsahan surat perjanjian tersebut. Maka pandangan dalam masyarakat seperti ini harus diluruskan. Karena dalam hukum perdata tidak ada hubungan sah atau tidaknya penggunaan meterai dengan syarat sahnya suatu perjanjian.

Penggunaan Meterai dalam suatu perjanjian adalah sebagai pajak atas dokumen tersebut. Secara umum fungsi meterai adalah alat untuk membayar pajak atas dokumen yang dapat digunakan sebagai alat bukti pada saat terjadi sengketa di Pengadilan. Meskipun dalam perjanjian tersebut tidak ditempeli meterai, perjanjian tersebut tetap sah. 

Namun apabila terjadi sengketa atas dokumen tersebut dan ingin menjadikannya sebagai alat bukti, maka harus dilakukan Pemeteraian. Kemudian (post-factum) di Pengadilan berdasarkan PMK Nomor 134/PMK.03/2021 dokumen yang akan di gunakan sebagai alat bukti harus dilakukan pemeterain terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban bea meterai. 

Penggunaan Meterai juga harus diperhatikan. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai bahwa bea Meterai dikenakan atas dua jenis dokumen yaitu dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan suatu kejadian yang bersifat Perdata dan dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di Pengadilan. 

Penempelan Meterai pada surat perjanjian direkatkan seluruhnya utuh dan tidak rusak dan tandatangan dibubuhkan sedikit mengenai meterai dan sebagian diatas meterai dilakukan penanggalan sesuai dengan pada saat penandatanganan surat tersebut. Namun jika menggunakan Meterai Elektronik, maka melaui sistem elektronik dan perlu diperhatikan petunjuk penggunaannya. 

Sebagai tambahan bahwa dalam Meterai Eektronik ada kode unik yaitu 22 digit nomor seri dan keterangan tertentu yaitu gambar lambang Garuda Pancasila. Tulisan “METERAI ELEKTRONIK” dan angka serta tulisan yang menunjukkan bea meterai. 

Selain kedua bentuk meterai tersebut, juga ada bentuk lain yaitu Meterai Teraan yang  penempelannya menggunakan mesin teraan meterai digital. Meterai Komputerisasi penggunaannya dibubuhkaan dengan menggunakan sistem komputerisasi dan Meterai percetakan penggunaannya dibubuhkan menggunakan teknologi percetakan.

Dengan demikian maka suatu dokumen atau dalam pembuatan surat perjanjian yang tidak di bubuhi meterai maka perjanjian tersebut tetap sah. Karena syarat sah perjanjian bukan karena ada atau tidaknya meterai melainkan apabila sudah terpenuhinya 4 unsur dalam pasal 1320 KUHPerdata. 

Meterai hanyalah kewajiban administrative terkait perpajakan dan pembuktian, bukan syarat sahnya substansi hukum perjanjian. Oleh karena itu maka masyarakat harus memahami peran meterai secara tepat agar tidak menjadi kekeliruan dalam memaknai legalitas suatu dokumen perjanjian. (*)